Minggu, 09 Oktober 2011

Gara-Gara SMS (Chapter I)

Harinya gw lupa, tanggalnya juga lupa. Yang pasti di pagi hari, temen gw sms yang isinya kurang lebih begini.

“ Ada kuis ni di radio, pertanyaanya, setuju ngga sama program yustisi di Jakarta?atau punya cara lain?” *maaf kalo nggak lengkap*

Gw bales “Program yustisi itu apa?”

Dia jawab “ Operasi KTP untuk mengurangi pendatang gelap di Jakarta. Jadi yang nggak punya KTP sama pekerjaan dipulangin kekampungnya”

“SETUJU!!” Gw bales lagi.

Percakapan lewat sms itu terus berlanjut sampai keluar makian buat bangsa sendiri. Gara-garanya gw bilang orang-orang yang datang ke Jakarta itu ngga pernah nonton teve. Temen gw bales, mereka nonton tapi ngga nonton berita, nontonnya sinetron. Gw bales lagi pemerintah harusnya bikin RUU larangan menayangkan sinetron, RUU Anti Pornografi udah di buat, walaupun belum terealisasi. Kenapa nggak sekalian bikin larangan untuk menayangkan sinetron di teve yang udah jelas-jelas ngga ngasih pelajaran apapun buat penontonnya. *kalau ada pelajaran yang bisa diambil tolong kasih tau gw lewat sms ke no 08569005973, atau lewat blog ini juga boleh*.

Kembali ke sinetron, banyak efek negatif yang disebabkan sinema elektronik itu. Salah satunya banyak “Bintang-bintang” baru yang masih dibawah umur, bahkan masih bayi. Mungkin karena iming-iming materi yang melimpah orang tua si “bintang” tersebut mengizinkan anaknya untuk diperbudak orang-orang kapitalis pembuat sinetron. Si orang tua nggak perduli dengan anak-anak yang harusnya masih bersenang-senang di dunia mereka yang sederhana, malah di jadikan “barang dagangan” demi kepuasan dirinya sendiri. Mereka mengambil keuntungan dari makhluk kecil yang belum tau apa-apa. Kalau ada pertanyaan untuk mereka *orang tua* yang berbunyi “Nggak kasihan pak/bu sama anaknya? Mungkin mereka kecapean…dst. Jawabanya kurang lebih “ Kami ingin menerapkan kebiasaan bekerja keras sejak mereka masih kecil, toh anak kami juga merasa senang bla bla bla…”. Ya iyalah mereka bersenang-senang namanya juga anak kecil, isi pikirannya cuma 3 hal bermain, bermain, dan bermain dalam hal & kegiatan apapun. Apalagi mereka diracun dengan kata-kata yang berisi mimpi-mimpi indah *muluk* dari orang tuanya, tergodalah si anak dan terjun ke lembah berkabut yang di sebut sinetron. Padahal sebelum mereka menikmati mimpi indah itu *anak atau orang tuanya yang menikmati?* mereka harus melakukan permintaan *perintah yang diperhalus* sang sutradara, ngga perduli panas, hujan, kena angin malam, bahaya di jalan, etc. Singkatnya mereka mengerjakan hal yang seharusnya belum mereka lakukan *bisa disebut diperbudak nggak sih? atau eksploitasi anak? berapa banyak waktu yang terbuang di masa kecil? bisa dibenarkan nggak? terus yang salah siapa? * Pikir aja sendiri.



Disukai atau tidak, diakui, tidak diakui sinetron sudah menjadi tontonan wajib di Negara kita (khususnya ibu-ibu dan gadis remaja). Para penikmat sinetron itu tersihir oleh produk buatan klan India itu. Mereka memuja pemainnya, menjadikan bahan pembicaraan jalan cerita sinetron dengan sinetron maniak yang lain, mencoba menerapkan kehidupan sinetron dalam kehidupan nyata, dan yang paling parah mereka menjadi artis wannabe. Mending kalo jadi artis *tapi gw kurang setuju pemain sinetron disebut artis*, kalau nggak kesampaian? mereka jadikan anak mereka sendiri sebagai objek menuju keinginan yang tertunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan itu.. Akhirnya.. yaaa kembali lagi ke tulisan diatas.

Contoh lain …

Ada seorang ibu muda yang ingin sekali masuk teve *bukan masuk ke dalam teve lewat layar atau buka tutup belakangnya yah*, kaya dan terkenal seperti para pemain sinetron itu. Tapi karena kurangnya modal dan bakat akhirnya dia bekerja dikantor kelurahan di daerah tempat tinggalnya. Sekarang ibu muda itu punya anak, masih bayi, belum genap setahun. Si bayi selalu diajak nonton sinetron bareng atau melototin reality show nggak jelas yang sedang menjadi tren di stasiun teve Indo. Sambil nonton si ibu muda berkata “nanti kalau ade sudah gede, ikutan ‘acara’ itu yah. Belajar nyanyi sama akting, terus nanti ade maen sinetron kaya tante eva *saudara suaminya yang jadi pemain sinetron beneran*. Kaya baim *anak kecil korban keinginan orang tua juga sepertinya*. Nanti ade terkenal, ayah sama ibu juga ikut senang”. *jelaskan senang!!*.

Jijik banget gw denger omongan kaya gitu *terpaksa denger karena deket sama gw, terpaksa deket karena harus, harus karena gw kenal ibu muda itu*

Apa jadinya kalau si ibu muda tersebut benar-benar memaksakan kehendak sama anaknya nanti? Atau sekarang ini anak nggak punya hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri sehingga harus mengorbankan masa indah mereka demi mengejar keinginan orang tua?.



Mungkin kejadian seperti itu tidak akan ada kalau tidak ada sinetron, tidak ada acara-acara yang mementingkan keuntungan sang pemilik PH & pembuatnya saja. Tidak akan ada anak yang harus bekerja di saat mereka harusnya masih bermain kalau pihak yang berwenang lebih perduli terhadap masa depan masyarakat luas bukan isi kantong, perut, rumah & keinginan mereka saja. Mungkin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar