Ketika Cak Lontong ditanya oleh Denny
Chandra tentang efektif atau tidaknya peringatan yang tertera dalam bungkus
rokok yang bertujuan untuk mengurangi perokok aktif, dia memberikan jawaban
yang cukup menggelitik. Menurut Cak Lontong peringatan tersebut sangat tidak
berpengaruh karena tidak dibarengi dengan sangsi untuk memperkuat. Dan
penutupan pabrik rokok yang ada di Indonesia sangatlah sulit direalisasikan
karena hal ini berhubungan dengan sumbangan pajak yang didapatkan negara dari industri
rokok. Lebih dari itu, jika pabrik rokok ditutup maka secara otomatis ribuan orang
akan menjadi pengangguran dan pekerjaan rumah pemerintah terutama menteri
tenaga kerja tambah pelik, belum lagi para petani tembakau pasti kebingungan.
Lalu apa solusinya? Masih menurut Cak Lontong, daripada menghantam pabrik
rokok, lebih baik tutup saja pabrik korek api (pemantik api). Kalau
dipikir-pikir ada benarnya juga usulan komedian satu ini, karena rokok tidak
akan bisa dihisap bila tidak dinyalakan dan tanpa penghasil api portable maka
rokok akan utuh.
Sekarang, mari kita berandai-andai
apa yang akan terjadi bila pemerintah Indonesia berani menutup pabrik korek api
dan membuat aturan hukum/undang-undang tentang larangan memiliki korek api. Bila
ini terjadi maka orang-orang pasti segera membeli korek api baik gas atau kayu sebanyak-banyaknya
untuk ditimbun sebagai cadangan dan kalau memungkinkan jadi sumber penghasilan.
Salah satu efek nyata adalah hal yang sudah disebutkan diatas, dan bagi banyak
orang berkurangnya perokok aktif tentu saja sesuatu yang amat menggembirakan.
Lalu salah satu jenis narkotika sebut saja ganja yang cara penggunaannya dengan dipadatkan
menyerupai rokok atau dengan menggunakan pipa rokok dan tentu saja harus
dibakar/dinyalakan akan berkurang atau malah menghilang dari peredaran karena
tidak akan bisa dikonsumsi. Sabu sabu pun rasanya akan bernasib sama karena
membutuhkan api untuk memakainya. Bandar
ganja dan sabu sabu blingsatan karena pendapatan mereka menurun tajam dan
akhirnya berinisiatif untuk memproduksi dan menjual korek api karena barang
yang satu ini lebih sulit didapatkan dari narkoba, sulit artinya berdaya jual
tinggi. Dari sisi lain, hutan tidak akan
lagi dibakar orang karena para pembakar itu pasti berpikir 7 kali kalau harus
merepotkan diri dengan menggosok-gosokan dua buah kayu atau membeli kaca
pembesar segede gaban demi menyalakan
hutan akibat sulitnya mendapatkan korek api.
Bagaimana dengan kebutuhan rumah
tangga seperti memasak? Memang kompor gas merajalela, tapi faktanya masih
banyak masyarakat yang menggunakan tungku sebagai sarana memasak. Mungkin
mamang-mamang warung sembako tertentu akan berkolusi dengan pejabat terkait
demi mendapatkan korek api untuk dijual kembali pada ibu-ibu tua dan mamah
muda, si mamang akan mendapatkan untung besar. Dan tentu saja image bad boy yang biasanya disukai para
wanita akan melekat padanya karena berani menjual barang terlarang yang tidak
haram. Bisa dibayangkan suasana transaksi jual korek api terlarang antara si
mamang dan ibu-ibu usia 50an keatas yang sakaw
korek api.
Ibu-ibu (I) : Mang, bokul Buddha
Stick (nick name ganja yang kini
digunakan untuk korek api)?
Mamang (M) : Berapa?
I :
Sebatang berapa?
M :
2 ribu (bahasa jalanan artinya 2 juta)
I :
Kuranginlah! (ibu-ibu tetaplah ibu-ibu, barang terlarangpun ditawar)
M :
Jenis T nih, kualitas oke susah dapetinya. (T = Tokai)
I :
Kemaren mang rusdi tukang sayur nawarin seribu doang
M :
Ah barang lama diamah. T ini sekali nyala nggak mati-mati, expirednya setaun. Mau nggak?
I :
15 deh..
M :
17 dilepas
I :
15 jadi langganan plus servis tambahan deh (sambil ngedipin si mamang)
M :
Bengong lalu buru-buru tutup dan ngajak si ibu masuk ke gudang beras.
Entah kenapa saya
menulis ini, tapi intinya melakukan sesuatu yang bisa berakibat
masif memang harus dirumuskan dan dipikirkan secara cermat.