Senin, 07 September 2015

Hukum Korek Api



Ketika Cak Lontong ditanya oleh Denny Chandra tentang efektif atau tidaknya peringatan yang tertera dalam bungkus rokok yang bertujuan untuk mengurangi perokok aktif, dia memberikan jawaban yang cukup menggelitik. Menurut Cak Lontong peringatan tersebut sangat tidak berpengaruh karena tidak dibarengi dengan sangsi untuk memperkuat. Dan penutupan pabrik rokok yang ada di Indonesia sangatlah sulit direalisasikan karena hal ini berhubungan dengan sumbangan pajak yang didapatkan negara dari industri rokok. Lebih dari itu, jika pabrik rokok ditutup maka secara otomatis ribuan orang akan menjadi pengangguran dan pekerjaan rumah pemerintah terutama menteri tenaga kerja tambah pelik, belum lagi para petani tembakau pasti kebingungan. Lalu apa solusinya? Masih menurut Cak Lontong, daripada menghantam pabrik rokok, lebih baik tutup saja pabrik korek api (pemantik api). Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga usulan komedian satu ini, karena rokok tidak akan bisa dihisap bila tidak dinyalakan dan tanpa penghasil api portable maka rokok akan utuh. 

Sekarang, mari kita berandai-andai apa yang akan terjadi bila pemerintah Indonesia berani menutup pabrik korek api dan membuat aturan hukum/undang-undang tentang larangan memiliki korek api. Bila ini terjadi maka orang-orang pasti segera membeli korek api baik gas atau kayu sebanyak-banyaknya untuk ditimbun sebagai cadangan dan kalau memungkinkan jadi sumber penghasilan. Salah satu efek nyata adalah hal yang sudah disebutkan diatas, dan bagi banyak orang berkurangnya perokok aktif tentu saja sesuatu yang amat menggembirakan. Lalu salah satu jenis narkotika sebut saja ganja yang  cara penggunaannya dengan dipadatkan menyerupai rokok atau dengan menggunakan pipa rokok dan tentu saja harus dibakar/dinyalakan akan berkurang atau malah menghilang dari peredaran karena tidak akan bisa dikonsumsi. Sabu sabu pun rasanya akan bernasib sama karena membutuhkan api untuk memakainya. Bandar ganja dan sabu sabu blingsatan karena pendapatan mereka menurun tajam dan akhirnya berinisiatif untuk memproduksi dan menjual korek api karena barang yang satu ini lebih sulit didapatkan dari narkoba, sulit artinya berdaya jual tinggi.  Dari sisi lain, hutan tidak akan lagi dibakar orang karena para pembakar itu pasti berpikir 7 kali kalau harus merepotkan diri dengan menggosok-gosokan dua buah kayu atau membeli kaca pembesar segede gaban demi menyalakan hutan akibat sulitnya mendapatkan korek api. 

Bagaimana dengan kebutuhan rumah tangga seperti memasak? Memang kompor gas merajalela, tapi faktanya masih banyak masyarakat yang menggunakan tungku sebagai sarana memasak. Mungkin mamang-mamang warung sembako tertentu akan berkolusi dengan pejabat terkait demi mendapatkan korek api untuk dijual kembali pada ibu-ibu tua dan mamah muda, si mamang akan mendapatkan untung besar. Dan tentu saja image bad boy yang biasanya disukai para wanita akan melekat padanya karena berani menjual barang terlarang yang tidak haram. Bisa dibayangkan suasana transaksi jual korek api terlarang antara si mamang dan ibu-ibu usia 50an keatas yang sakaw korek api. 

Ibu-ibu (I)      : Mang, bokul Buddha Stick (nick name ganja yang kini digunakan untuk  korek api)?
Mamang (M)  : Berapa?
I                        : Sebatang berapa?
M                      : 2 ribu (bahasa jalanan artinya 2 juta)
I                        : Kuranginlah! (ibu-ibu tetaplah ibu-ibu, barang terlarangpun  ditawar)
M                      : Jenis T nih, kualitas oke susah dapetinya. (T = Tokai)
I                        : Kemaren mang rusdi tukang sayur nawarin seribu doang
M                  : Ah barang lama diamah. T ini sekali nyala nggak mati-mati, expirednya setaun. Mau nggak?
I                        : 15 deh..
M                      : 17 dilepas
I                   : 15 jadi langganan plus servis tambahan deh (sambil ngedipin si mamang)
M                  : Bengong lalu buru-buru tutup dan ngajak si ibu masuk ke gudang beras.

 Entah kenapa saya menulis ini, tapi intinya melakukan sesuatu yang bisa berakibat masif memang harus dirumuskan dan dipikirkan secara cermat.


Jumat, 29 Mei 2015

Bukan Prosa Apalagi Puisi













Hey kalian,

Yang dulu selalu bercelana jeans robek dan berkaos oblong

Apa kabarnya?

Juga yang selalu bertutup kepala penuh makna

Kemana saja?

Malam ini aku membuka file-file lama

Foto kalian yang terbuka

Hardrive-ku penuh dengan memori

Tentang kalian dan terutama kita

Tidak terasa...

Dulu sering kita tersesat bersama

Jatuh, bangun, terpeleset, terjerembab,

tertawa...

Hey kalian yang dulu yang jarang tidur

Yang selalu berkata

Jam 09:00 sama dengan jam 06:00

Tidak-kah kalian rindu?

Rasa mie instan di tengah hutan

Air mentah dalam botol aqua

Kopi sachet segelas bersama

Ketika argumen dan kritik bagian dari kita

Presiden selalu salah di mata kita

Kepala desa musuh bersama

Atau ketika menertawakan hal tabu

Buat kita hidup ini terlalu lucu

Layaknya Dede Aong yang berdandan seperti tentara jerman

Seperti rambut si Jajat yang kini dipanggil Praja





Dulu kita selalu meramaikan kampung

Dengan celoteh dan aksi sok jago

Cerdas dan ceria

Banyak yang kontra

Tapi indah karena bersama

Rasanya baru kemarin ketika penduduk kampung kita undang

 Makan diatas hamparan daun pisang

Oh jangan lupa juga waktu kita memasang tenda disana

Di tempat dimana monyet memakan parafin

Lalu kita berfoto diatas jeep tua



Masih ingat Bahasa Manusia?

Kumpulan karya sastra kita

Yang diterbitkan seadanya



Keluarga kita ditemukan waktu itu

Waktu lintas alam pertama

Saat Baban belum ber-satria

Saat Indra belum dimakan apple pie

Saat Virgin Of Death belum berdiri

Saat The Used dan Thrice meraung keras

Dan saat menemukan curug cilayang-layang





Keluarga kita terus berkembang

Banyak tamu yang datang

Ada pula yang merasa terbuang

Salute mi familia, kata Dominic Torreto di Fast kelima

Kita tidak pernah bersulang seperti mereka

Tapi tetap saja kita adalah keluarga

Yang selalu melontarkan pertanyaan yang sama

Pada orang yang pertama kita jumpa

“Suka naik gunung?”

Itulah kata sakti mandraguna

Seakan ingin menegaskan bahwa kita adalah dewa

Padahal baru Salak yang kita permainkan

Gede, Ciremai, Rinjani, Papandayan, Semeru

Ditaklukan oleh sebagian dari kita kemudian

Aku bangga

Ah kalian hebat!!

Sungguh tiada dua

Tapi itu dulu..



Sekarang?

Apa kabar kalian?

Seakan ditelan oleh pengetahuan dan siklus kehidupan

Mati karena status dan dunia

Hipokrit standar janda

Komitmen dan kata fokus jadi belenggu

Padahal aku rindu

Rindu kalian para sahabat

Rindu obrolan sok tahu

Rindu bermain musik

Rindu tertawa bersama

Rindu Festival Liwet

Rindu Sapalacoustic

Rindu Sapala Cup

Rindu serindu-rindunya

Menunggu maut untuk bertemu

Rasanya tidak lucu

Ini bukan puisi

Bukan juga prosa

Hanya luapan emosi

Dari dada naik ke kepala lalu terlontar melalui kata

Semoga kalian baik-baik saja

Wahai yang mengaku para penikmat alam terbuka

Dimanapun kalian berada