Sabtu, 26 Juli 2014

Gunung (Sebuah Cerita)

Namaku Gunung, titik. Tidak ada kata lain sesudah atau sebelumnya. Singkat seperti halnya Dono atau Indro, malah terlalu singkat menurutku. Kata orang tuaku nama gunung terkesan sangat laki, satu kata yang mewakili keindahan dan karakter gagah. Aku pernah bilang indah itu bukan padanan kata gagah, kenapa sih tidak menamaiku yang lain, minimal terdiri dari dua suku kata agar terlihat keren di ijazah atau kartu namaku. Bapakku langsung menjawab “Lihatlah Soekarno gun, orang mengenalnya dengan nama yang terdiri dari satu suku kata tapi bisa menguasai satu negara kaya dan besar seperti Indonesia”. Akupun kalah kemudian berlalu sambil berkata “Aku hanya tidak suka dipanggil gun”.

Peristiwa itu terjadi waktu aku SMP, saat dimana jiwa kebarat-baratanku berada di persimpangan. Aku ingin punya nama seperti temanku yang lain, nama yang menurutku keren, berwibawa, dan panjang seperti Alexander Supertramp atau yang berbau timur tengah seperti Muhammad Daud Alberto. Temanku ada yang bernama Raspati Angga, Rd. Ilham Firnadi Anugrah, dan Agung Laksana. Betapa gagahnya nama-nama itu. Aku selalu berpikir nama akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang, semakin pendek sebuah nama maka orang itu akan semakin merasa terkucilkan.

Tapi setelah aku mengetahui kalau nama Agung Laksana itu terinspirasi dari nama toko elektronik di pasar anyar aku jadi berpikir ulang. Pemahaman baru memenuhi kepalaku, yang terpenting dari sebuah nama adalah filosofi atau sejarahnya. Bapakku benar dalam masalah ini, benar dalam mengambil filosofi kata gunung. Sejak saat itu perlahan-lahan aku mulai menanamkan dalam diri bahwa nama Gunung lebih berkualitas daripada Agung Laksana, walaupun masih kalah keren dari Raspati Angga atau Rd. Ilham Firnadi Anugrah.

Aku berusia 23 tahun dan kuliah di sebuah universitas swasta di Bogor. Selain itu aku bekerja sebagai seorang jurnalis free magazine. Di kampus, aku adalah mahasiswa yang berada di tengah-tengah, bukan mahasiswa rajin ataupun aktivis radikal. Aku hanya aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sastra, suka membuat event yang berbau sastra, musik, olahraga, atau mistik. Kadang aku juga siaran asal-asalan di radio sastra yang pendengarnya berupa mahasiswa bertampang lusuh dengan kemeja flannel dan jins belel yang sedang menikmati segelas kopi beramai-ramai di kantin sastra sebelah radio, jumlahnya sekitar 3 orang. Selain itu aku suka musik, buku, kopi, fotografi, menulis dan naik gunung. Banyak orang bilang aku unik karena bernama gunung dan suka naik gunung. Ada juga yang berpikir aku cari sensasi. Sudah tinggal di sebuah desa di kaki gunung, suka naik gunung, bernama gunung pula. Maunya apa sih?! Sangat tidak kreatif dan maksa katanya.

Hari itu masih pagi waktu Redi sang pemilik kamar kos tempat aku numpang tidur membangunkanku “Gun, kuliah nggak?” aku hanya menjawab dengan gumaman pelan lalu tidur lagi. Setengah dua belas siang aku terbangun gara-gara mendengar suara seperti kerbau tercekik, waktu kulihat ternyata Egi yang tidur di sebelahku ngorok menggunakan semua kemampuannya, dengan enggan aku berdiri dan mandi.

Selesai mandi aku membuat kopi hitam sachet yang selalu tersedia dalam tas lalu duduk di teras kosan sambil membayangkan pengalaman beberapa hari yang lalu. Aku bersama 3 orang kawan naik ke puncak salak, dan tersenyum sendiri ketika mengingat alasan kami berempat naik ke salak. Aku, Egi, dan Yudi baru saja mengalami kejadian yang begitu berdampak besar terhadap mental seseorang yang sedang mencari jati diri, kejadian itu adalah putus cinta. Yudi yang mengusulkan untuk naik gunung dengan tujuan melupakan segala kegalauan akibat putus hubungan cinta, Egi dan aku langsung berteriak siap. Kami begitu bersemangat melakukan perjalanan itu, terutama Egi. Dia bilang “Kalau udah sampai puncak kita curhat sampai pagi”.  Aku jawab “Mantap gi, kopi dan curhat adalah pasangan sempurna untuk udara dingin”. Begitu sampai di puncak salak sabtu sore, aku dan egi saling berpandangan. Kami senang dan puas karena berhasil sampai puncak tapi juga takut melihat diatas sana ada satu kuburan. Malam dilewati dengan hening, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Akhirnya empat orang jejaka ini tertidur sampai matahari terbit. Minggu siang kami turun dan sesampainya di kampus yang kami jadikan tempat start dan finish, aku bersama Egi pergi ke kosan Redi sementara Yudi dan Ferdi sang guide pulang.

Sambil senyum-senyum sendiri aku beranjak kedalam kamar kosan dan mengambil gitar lalu memainkan sebuah lagu.

Help me out just get me out of here
Is anybody outside help some stranger here
Pull me out im gonna die in here
Can anybody out there want be my square

Kopi, gitar, dan lirik yang menyayat hati adalah salah satu kombinasi konyol untuk menyingkirkan rasa tersiksa akibat patah hati. Tapi tetap saja aku menyanyikan lagu Polypanic Room milik Polyester Embassy yang di covering oleh Katjie & Piering dengan sempurna. Sangat sempurna untuk orang yang sedang dalam keadaan sepertiku, apalagi dinyanyikan di teras kosan.

Is anybody there can whatch me
Is anybody there can hear me
I feel lost and feel empty
Is anybody there can feel me

“Berisik Gunung!!” Tiba-tiba Egi berteriak.
“Bangun badak, udah siang nih” Balasku tidak kalah keras. Aku masih memainkan gitar sambil bernyanyi dengan suara lebih lantang. Egi akhirnya bangkit dari kematian sementaranya, menghampiriku lalu menyalakan djarum super kesukaannya.
“Sial, gua belum puas tidur gun”. Gerutunya.
“Allllaaaahh..kemarin lo nyampe langsung tidur, guamah nyuci baju dulu, baru tidur jam 9”.
“Ck…yang lain mana?”
Nggak tahu, tadi pagi sih ada Redi terus ke kampus kayaknya”
Egi masuk lagi ke kamar, tidak lama kemudian terdengar Kurt Cobain menyanyikan Smells Like Teen Spirit. Ini adalah kebiasaan egi setelah bangun tidur, merokok sambil mendengarkan band favoritnya Nirvana dengan volume kencang.
“Panas gi, musiknya yang santai aja sih”. Kataku, tapi sepertinya tidak terdengar oleh egi.
“Eh gun, Dian sms lo nggak?” tiba-tiba Egi keluar dari kamar.
Nggak, kenapa?”
“Sama, Nisa juga nggak sms gua”
“Terus kenapa, ngarep amat?!”
“Ah lo sih enak gun ganteng, cewek nyariin lo. Nah gua yang buruk rupa begini siapa yang nyari?”
“Ada gi, abang lo sama si Nina”
“Ck…adik sama abang gua buat apaan? dijual juga paling dapet super setengah” sungut egi.
“Tenang aja gi, gua selalu yakin lo bakal balik lagi sama Nisa. Lo kan muka buruk berhati mulia” kataku sambil tersenyum manis dan membuat Egi geli lalu masuk lagi ke kamar, mengganti nirvana dengan album kompilasi yang dibajaknya dari komputerku.

Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi
Tercipta nelangsa merenggut sukma
Terwujud keinginan yang tak pernah terwujud
Aku tak bisa pindah…pindah ke lain hati

 “Cocok nih lagu, gua nggak bisa pindah ke lain hati”. Kata Egi.
“Haduh lo jadi cowok hopeless amat, malu sama muka gi”
Kos nu henteu wae sampeu!” Katanya memakiku dengan bahasa sunda yang artinya “Kayak yang nggak aja lo singkong!”
“Gua seneng kalau deket dia gun. Nyaman gitu”
“Hati-hati. Kesenangan tidak selalu berkorelasi positif dengan kebahagiaan gi”
“Maksudnya?”
“Elo jangan sampai terjebak dengan kata-kata senang itu karena tidak selamanya sesuatu yang membuat kita senang bisa bikin kita bahagia juga”.
“Maksud lo senang dan bahagia itu dua hal yang berbeda?”
“Ya. Contohnya waktu kita naik gunung, hunting foto, atau makan sama anak-anak, senang kan? Tapi ada kalanya waktu melakukan itu semua kita kepikiran orang-orang terdekat kita, terutama keluarga. Atau kadang suka ingat sama orang yang hidupnya kekurangan yang ada di sekitar kita kan? Akibatnya perasaan senang itu tidak berlangsung lama. Nah jangan sampai lo ngalamin ini sama Nisa”
“Lain lagi dengan bahagia gi, selama kita bahagia perasaan senang akan ikut serta secara otomatis. Contoh waktu kita ngecrek buat aceh. Panas-panasan seharian sampai kulit kebakar, tapi kita asik-asik aja kan? Nggak cowok atau cewek semua ketawa dan semangat”.
“Jadi bahagia itu bisa kita dapatkan walaupun kita mengalami sesuatu yang bikin kita kurang nyaman kayak kulit kebakar itu?”.
“Persis!”
“Kalau gitu bisa jadi sekarang gua bahagia dong gun? Gua kan tersiksa tanpa Nisa”
“Mungkin, tapi hati-hati. Itu maksud gua”.
“Siap pak bos, gua akan lebih hati-hati. Gua pake helm deh kalau mikirin Nisa“
Aku nyengir “Terserah deh, gua cabut dulu ah”
“Mau kemana?. Tanya egi.
“Ke kantor, setor muka terus nyari buku”
“Gua nitip Slam Dunk nomer 24 ya”
“Iya” jawabku sambil mengambil tas.
“Berangkat ya, assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam…”.



CHAPTER 2

Sebenarnya aku malas pergi ke kantor, lelah setelah naik gunung masih belum hilang sepenuhnya. Tapi aku tetap harus kesana untuk bertemu pimpinan pekerjaan. Aku bekerja di sebuah majalah lifestyle yang lumayan sudah punya nama di Bogor. Job desk utamaku sebagai editor, tapi dalam kesehariannya hampir semua aku kerjakan. Mulai meliput kegiatan, menyunting tulisan, membuat program, dan kadang aku bertransformasi menjadi marketing sekaligus distribusi. Memang berat tapi aku menikmati pekerjaan ini, bekerja pada media merupakan passionku. Aku percaya dengan apa yang dikatakan Rene Suhardono bahwa setiap orang seharusnya bekerja di tempat yang membuatnya nyaman dan berkembang sebagai individu. Semua orang berhak merasakan bahagia, termasuk dalam bekerja. Kalau merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang sedang dilakukan maka tinggalkan pekerjaan itu dan carilah passion pribadimu. Setelah pindah kesana-sini dengan bidang yang berbeda, akhirnya aku menemukan passion pribadiku yaitu menjadi seorang jurnalis.

Karena sedang tidak membawa kendaraan, aku harus naik angkutan umum untuk pergi ke kantor. Menurutku naik angkot itu menyenangkan, selain tidak harus berkonsentrasi pada jalannya kendaraan aku bisa menikmati pemandangan yang dilewati. Yang paling menarik adalah memperhatikan orang-orang yang berada satu angkot denganku. Di sudut angkot ada dua ABG yang sedang asik membicarakan cowok kecengannya dan mengagungkan Boyband korea yang bagiku tampak seperti manusia setengah laki-laki dengan suara berisik. Sementara disebelahnya ada seorang perempuan berkerudung yang sibuk memainkan jari diatas keypad Blackberry tanpa memedulikan ABG berisik atau seorang laki-laki muda menarik yang duduk didepannya, laki-laki bernama Gunung. Oh betapa manusia sudah dijajah terlalu jauh oleh teknologi. Dibelakang kursi supir duduk seorang perempuan sedang membaca buku berjudul Hujan Bulan Juni. Anak sok nyastra, pikirku yang selalu menganggap diriku dan teman-teman sebagai penggemar sastra nomor wahid.

“Kiri..kiri!!” kataku begitu menyadari angkot yang kutumpangi sudah sampai di depan komplek perumahan tempat kantorku berada. Akupun turun dan membayar ongkos. Setelah berjalan kurang dari sepuluh menit aku sampai diparkiran sebuah rumah berlantai dua bercat merah menyala dengan halaman yang cukup luas, kantorku.
“Nung!” Terdengar sebuah suara memanggilku dari cafĂ© di seberang kantor dan dari caranya memanggilku aku langsung tahu siapa orangnya.
“Nung, sini”. Teriaknya lagi.
Akupun menghampirinya dengan memasang muka heran pada seseorang yang duduk di depan orang itu.
“Apa sih sen?”. Sendy, desainer di tempatku bekerja, teman kampus, dan drummer band Hardcore yang dibentuknya bersamaku. Cuma dia yang memanggilku dengan sebutan nung, bukan gun atau gunung.
“Gua mau ngenalin seseorang” Kata Sendy sambil melirik pada wanita di depannya.
“Achi, kenalin ini Gunung. Editor Rain Magazine, salah satu vokalis cadas bogor, dan playboy sejati”.
“Sial! Jangan didengerin babi air ini”. Kataku sambil menyodorkan tangan.
“Hihi” Achi Cuma tertawa kecil. Manis juga cewek ini, mukanya tirus, hidung mancung, mata coklat, dan bandana putih menghiasi rambutnya yang seleher. Badannya tidak gemuk tapi tidak juga terlalu kurus, kulitnya putih. Achi terlihat santai dan ngerock dengan sepatu vans biru berstrip merah, jins, dan kaos putih bertuliskan Walls Of Jericho di depannya.
“Achi” Katanya sambil menerima uluran tanganku.
“Gunung”. Balasku.
“Udah jangan lama-lama, sana lo masuk”. Kata Sendy mengusirku.
“Yuk chi kita berangkat”
“Mau kemana?” Tanyaku.
“Nyari inspirasi”.
“Trus lo ngapain manggil gua kesini bodoh?!”
“Kan tadi gua bilang mau ngenalin seseorang. Sekarangkan udah kenal jadi misi selesai dan lo boleh pergi”.
Sendy memang konyol dan suka bercanda. Banyak orang yang pernah dikerjainya dan aku yakin dia sekarang dia cuma pamer Achi di depanku, dia selalu begitu.
“Hey pergi sana, lo ditunggu Tia dari tadi” Kata sendy lagi.
“Lo mau kemana?” Tanyaku lagi.
“Beli Dvd. Nanti ke kosan nggak?”
“Kayaknya sih, tapi gua pulang dulu”
“Yaudah gua cabut. Dadah nung…”
“Gunung pergi dulu yah” Kata Achi sambil tersenyum.
“Oh iya chi, hati-hati”
“Maksud gua hati-hati sama yang lagi jalan ma lo”
“Hehe…tenang, gua udah punya penagkalnya. Yuk ah”
“Sip”

Kemudian aku bergegas masuk ke kantor dan mencari Tia atasanku. Ternyata dia sedang menemui tamu dari sebuah perusahaan penerbangan Jakarta. Aku ke dapur dan minta tolong si mamat untuk membuatkan kopi. Setelah sekitar limabelas menit menunggu, akhirnya Tia keluar dari ruang meeting dan menghampiriku yang sedang duduk menikmati kopi bersama sebatang sampoerna mild.
“Dari mana aja lo?” Tanya Tia. Kalau ada yang berpikir Tia adalah seorang cewek berkulit putih, rambut sebahu, dan memakai kacamata maka sangat salah. Tia atasanku ini laki-laki berkulit hitam, kurus, muka bulat, dan berjenggot. Nama lengkapnya Taufik Setiawan, tapi dia lebih suka dipanggil Tia daripada taufik. Antara aku dan pimpinanku ini memang tidak ada jarak, dia selalu menggunakan kata lo gua padaku dan Sendy. Kami bertiga merupakan rekan kerja yang terlalu sering berkumpul bersama hingga jadi teman curhat. Dan aku menyukai keadaan seperti ini, suasana yang membuatku seperti di tengah sahabat atau keluarga.
“Maaf gua kesiangan kang, kan abis dari Salak” Jawabku
“Oh iya gua lupa” Kata Tia lalu mengajakku ke ruangannya di lantai dua.
“Terus gimana?“ Tanyanya lagi.
“Apanya?”
“Naik gunungnyalah”
“Oh, seperti biasa. Selalu menyenangkan sekaligus menantang”
“Salak itu gila. Track diatas, tanahnya gambut dan kanan kiri jurang. Kalau terperosok insya allah nggak selamat”.
“Kenapa nggak loncat sekalian? Kan patah hati?”
“Hahahahahaha…” Aku tertawa keras
“Sory kang, gua kan jagoan hehehehe jadi nggak boleh mati”
“Ada apa nyari gua?” Tanyaku sedetik kemudian.
Gini gun, gua berencana mau bikin website Rain. Jadi bisa digunakan sebagai senjata juga buat anak-anak marketing. Kontennya pasti sama dengan majalah, ditambah sedikit link social media sama info-info penting seputar bogor”
“Ok juga kang tapi bukannya dulu lo nggak mau main di online?”
“Iya. Tapi tadi gua ketemu orang perusahaan penerbangan dan dia tertarik untuk bekerjasama dengan kita. Syarat utama kita harus punya web.”
“Kerjasama apa?”
“Distribusi, iklan, sama event.”
Gitu. Trus?”
“Di web kita nanti harus ada juga directory.
Directory apa?”
“Semua tempat yang penting untuk masyarakat bogor, mulai dari hotel, resto, tempat wisata, show room, bengkel, supermarket, tambal ban, kontrakan dan lain-lain”
“Dan lo gun, jadi PJ ya”
“Hah? Gua sendirian?”
“Ya maksimalkan anak buah lo dong”
Nggak bisa kang, kerjaan departemen gua banyak dan SDMnya sangat terbatas. Kalau kita fokus ke directory semua siapa yang mau ngisi konten majalah?”
“Sambil lewat nggak bisa?”
“Lo kasih waktu berapa lama?”
“Tiga bulan”
Nggak bisa, harus ada tim khusus buat ini”
Tia berpikir sejenak lalu melanjutkan bicara.
“Fokus ke yang gede aja dulu gun, jangan langsung semua. Yang penting ada data dulu”
Sekarang giliranku yang berpikir.
“Kalau gua pake si Mamat sama Dede gimana? Jadi anak-anak produksi bisa back up gua buat ngisi konten. Sekalian mereka belajar juga kang”.
“Ya udah, tapi lebih enak lo atur jadwalnya biar kerjaan mereka nggak terganggu. Trus jangan lupa profil band indie yang mau kita angkat”
“Ok. Gua ngobrol dulu sama mereka. Band yang mau diangkat minggu depan kesini”
“Band Rock? Darimana?”
“Iyalah. Kan sesuai tema Rocktober. Asli bogor”
“Mantap. Oiya perjalanan lo kemarin ditulis aja buat trip report
Kan kita majalah kang, bukan tivi”
Trus kenapa? Emang ada aturan baku yang nggak memperbolehkan majalah punya trip report?”
Nggak ada sih”
“Jangan terlalu terpaku sama aturan gun. Bukannya gua ngajarin lo buat melanggar, tapi dalam hidup ini banyak hal dan masalah yang akhirnya bisa diselesaikan tanpa menggunakan aturan yang ada.”
“Ngutip darimana tuh?”
“Bikin sendiri dong, emang lo doang yang bisa bikin quote. Minggu depan selesai ya tulisan lo”
“Baiklah bapak pimpinan. Gua nemuin Mamat sama Dede dulu ya.”
 
Bersambung....

Sekaleng Khong Guan

Kamu tahu?!
Kemarin aku terluka
Minggu lalu aku bahagia
Sebulan kemarin aku tanpa rasa
Sementara hari ini, aku biasa saja

Kamu tahu?!
Rasa yang kita punya tak ada artinya
Jika tidak tahu cara membaginya

Kamu tahu?!
Hidup tak jauh berbeda dengan sekaleng Khong Guan
Dari luar tampak tak menggoda
Buka tutupnya lalu rasakan
Manis bukan?

Kamu tahu?!
Tawar bukanlah rasa
Melainkan awal dari segalanya