Namaku Gunung,
titik. Tidak ada kata lain sesudah atau sebelumnya. Singkat seperti halnya Dono
atau Indro, malah terlalu singkat menurutku. Kata orang tuaku nama gunung
terkesan sangat laki, satu kata yang mewakili keindahan dan karakter gagah. Aku
pernah bilang indah itu bukan padanan kata gagah, kenapa sih tidak menamaiku
yang lain, minimal terdiri dari dua suku kata agar terlihat keren di ijazah
atau kartu namaku. Bapakku langsung menjawab “Lihatlah Soekarno gun, orang mengenalnya
dengan nama yang terdiri dari satu suku kata tapi bisa menguasai satu negara kaya
dan besar seperti Indonesia”. Akupun kalah kemudian berlalu sambil berkata “Aku
hanya tidak suka dipanggil gun”.
Peristiwa itu
terjadi waktu aku SMP, saat dimana jiwa kebarat-baratanku berada di
persimpangan. Aku ingin punya nama seperti temanku yang lain, nama yang
menurutku keren, berwibawa, dan panjang seperti Alexander Supertramp atau yang
berbau timur tengah seperti Muhammad Daud Alberto. Temanku ada yang bernama
Raspati Angga, Rd. Ilham Firnadi Anugrah, dan Agung Laksana. Betapa gagahnya
nama-nama itu. Aku selalu berpikir nama akan mempengaruhi tingkat kepercayaan
diri seseorang, semakin pendek sebuah nama maka orang itu akan semakin merasa
terkucilkan.
Tapi setelah aku
mengetahui kalau nama Agung Laksana itu terinspirasi dari nama toko elektronik
di pasar anyar aku jadi berpikir ulang. Pemahaman baru memenuhi kepalaku, yang
terpenting dari sebuah nama adalah filosofi atau sejarahnya. Bapakku benar
dalam masalah ini, benar dalam mengambil filosofi kata gunung. Sejak saat itu
perlahan-lahan aku mulai menanamkan dalam diri bahwa nama Gunung lebih
berkualitas daripada Agung Laksana, walaupun masih kalah keren dari Raspati
Angga atau Rd. Ilham Firnadi Anugrah.
Aku berusia 23
tahun dan kuliah di sebuah universitas swasta di Bogor. Selain itu aku bekerja
sebagai seorang jurnalis free magazine. Di kampus, aku adalah mahasiswa
yang berada di tengah-tengah, bukan mahasiswa rajin ataupun aktivis radikal.
Aku hanya aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Sastra, suka membuat event yang berbau sastra, musik, olahraga,
atau mistik. Kadang aku juga siaran asal-asalan di radio sastra yang
pendengarnya berupa mahasiswa bertampang lusuh dengan kemeja flannel dan jins
belel yang sedang menikmati segelas kopi beramai-ramai di kantin sastra sebelah
radio, jumlahnya sekitar 3 orang. Selain itu aku suka musik, buku, kopi,
fotografi, menulis dan naik gunung. Banyak orang bilang aku unik karena bernama
gunung dan suka naik gunung. Ada juga yang berpikir aku cari sensasi. Sudah
tinggal di sebuah desa di kaki gunung, suka naik gunung, bernama gunung pula.
Maunya apa sih?! Sangat tidak kreatif dan maksa katanya.
Hari itu masih
pagi waktu Redi sang pemilik kamar kos tempat aku numpang tidur membangunkanku
“Gun, kuliah nggak?” aku hanya menjawab dengan gumaman pelan lalu tidur lagi.
Setengah dua belas siang aku terbangun gara-gara mendengar suara seperti kerbau
tercekik, waktu kulihat ternyata Egi yang tidur di sebelahku ngorok menggunakan
semua kemampuannya, dengan enggan aku berdiri dan mandi.
Selesai mandi
aku membuat kopi hitam sachet yang
selalu tersedia dalam tas lalu duduk di teras kosan sambil membayangkan pengalaman
beberapa hari yang lalu. Aku bersama 3 orang kawan naik ke puncak salak, dan tersenyum
sendiri ketika mengingat alasan kami berempat naik ke salak. Aku, Egi, dan Yudi
baru saja mengalami kejadian yang begitu berdampak besar terhadap mental
seseorang yang sedang mencari jati diri, kejadian itu adalah putus cinta. Yudi yang
mengusulkan untuk naik gunung dengan tujuan melupakan segala kegalauan akibat
putus hubungan cinta, Egi dan aku langsung berteriak siap. Kami begitu
bersemangat melakukan perjalanan itu, terutama Egi. Dia bilang “Kalau udah
sampai puncak kita curhat sampai pagi”. Aku
jawab “Mantap gi, kopi dan curhat adalah pasangan sempurna untuk udara dingin”.
Begitu sampai di puncak salak sabtu sore, aku dan egi saling berpandangan. Kami
senang dan puas karena berhasil sampai puncak tapi juga takut melihat diatas
sana ada satu kuburan. Malam dilewati dengan hening, tidak ada sepatah katapun
keluar dari mulut kami. Akhirnya empat orang jejaka ini tertidur sampai
matahari terbit. Minggu siang kami turun dan sesampainya di kampus yang kami
jadikan tempat start dan finish, aku bersama Egi pergi ke kosan Redi
sementara Yudi dan Ferdi sang guide
pulang.
Sambil
senyum-senyum sendiri aku beranjak kedalam kamar kosan dan mengambil gitar lalu
memainkan sebuah lagu.
Help
me out just get me out of here
Is
anybody outside help some stranger here
Pull
me out im gonna die in here
Can
anybody out there want be my square
Kopi, gitar, dan
lirik yang menyayat hati adalah salah satu kombinasi konyol untuk menyingkirkan
rasa tersiksa akibat patah hati. Tapi tetap saja aku menyanyikan lagu Polypanic
Room milik Polyester Embassy yang di covering
oleh Katjie & Piering dengan sempurna. Sangat sempurna untuk orang yang
sedang dalam keadaan sepertiku, apalagi dinyanyikan di teras kosan.
Is
anybody there can whatch me
Is
anybody there can hear me
I
feel lost and feel empty
Is
anybody there can feel me
“Berisik Gunung!!”
Tiba-tiba Egi berteriak.
“Bangun badak,
udah siang nih” Balasku tidak kalah keras. Aku masih memainkan gitar sambil
bernyanyi dengan suara lebih lantang. Egi akhirnya bangkit dari kematian sementaranya,
menghampiriku lalu menyalakan djarum super kesukaannya.
“Sial, gua belum
puas tidur gun”. Gerutunya.
“Allllaaaahh..kemarin
lo nyampe langsung tidur, guamah
nyuci baju dulu, baru tidur jam 9”.
“Ck…yang lain
mana?”
“Nggak tahu, tadi pagi sih ada Redi terus
ke kampus kayaknya”
Egi masuk lagi
ke kamar, tidak lama kemudian terdengar Kurt Cobain menyanyikan Smells Like
Teen Spirit. Ini adalah kebiasaan egi setelah bangun tidur, merokok sambil
mendengarkan band favoritnya Nirvana dengan volume kencang.
“Panas gi,
musiknya yang santai aja sih”. Kataku, tapi sepertinya tidak terdengar oleh egi.
“Eh gun, Dian
sms lo nggak?” tiba-tiba Egi keluar dari kamar.
“Nggak, kenapa?”
“Sama, Nisa juga
nggak sms gua”
“Terus kenapa, ngarep amat?!”
“Ah lo sih enak
gun ganteng, cewek nyariin lo. Nah gua yang buruk rupa begini siapa yang
nyari?”
“Ada gi, abang
lo sama si Nina”
“Ck…adik sama
abang gua buat apaan? dijual juga paling dapet super setengah” sungut egi.
“Tenang aja gi,
gua selalu yakin lo bakal balik lagi sama Nisa. Lo kan muka buruk berhati
mulia” kataku sambil tersenyum manis dan membuat Egi geli lalu masuk lagi ke
kamar, mengganti nirvana dengan album kompilasi yang dibajaknya dari komputerku.
Sisi ruang batinku hampa rindukan pagi
Tercipta nelangsa merenggut sukma
Terwujud keinginan yang tak pernah terwujud
Aku tak bisa pindah…pindah ke lain hati
“Cocok nih lagu, gua nggak bisa pindah ke lain hati”. Kata Egi.
“Haduh lo jadi
cowok hopeless amat, malu sama muka gi”
“Kos nu henteu wae sampeu!” Katanya memakiku dengan bahasa sunda yang artinya “Kayak
yang nggak aja lo singkong!”
“Gua seneng
kalau deket dia gun. Nyaman gitu”
“Hati-hati.
Kesenangan tidak selalu berkorelasi positif dengan kebahagiaan gi”
“Maksudnya?”
“Elo jangan
sampai terjebak dengan kata-kata senang itu karena tidak selamanya sesuatu yang
membuat kita senang bisa bikin kita bahagia juga”.
“Maksud lo
senang dan bahagia itu dua hal yang berbeda?”
“Ya. Contohnya
waktu kita naik gunung, hunting foto, atau makan sama anak-anak, senang kan?
Tapi ada kalanya waktu melakukan itu semua kita kepikiran orang-orang terdekat
kita, terutama keluarga. Atau kadang suka ingat sama orang yang hidupnya
kekurangan yang ada di sekitar kita kan? Akibatnya perasaan senang itu tidak
berlangsung lama. Nah jangan sampai lo ngalamin ini sama Nisa”
“Lain lagi
dengan bahagia gi, selama kita bahagia perasaan senang akan ikut serta secara
otomatis. Contoh waktu kita ngecrek buat aceh. Panas-panasan seharian sampai
kulit kebakar, tapi kita asik-asik aja kan? Nggak cowok atau cewek semua ketawa
dan semangat”.
“Jadi bahagia
itu bisa kita dapatkan walaupun kita mengalami sesuatu yang bikin kita kurang
nyaman kayak kulit kebakar itu?”.
“Persis!”
“Kalau gitu bisa
jadi sekarang gua bahagia dong gun? Gua kan tersiksa tanpa Nisa”
“Mungkin, tapi
hati-hati. Itu maksud gua”.
“Siap pak bos,
gua akan lebih hati-hati. Gua pake helm deh kalau mikirin Nisa“
Aku nyengir “Terserah
deh, gua cabut dulu ah”
“Mau kemana?.
Tanya egi.
“Ke kantor,
setor muka terus nyari buku”
“Gua nitip Slam
Dunk nomer 24 ya”
“Iya” jawabku
sambil mengambil tas.
“Berangkat ya,
assalamualaikum”.
“Waalaikumsalam…”.
CHAPTER 2
Sebenarnya aku
malas pergi ke kantor, lelah setelah naik gunung masih belum hilang sepenuhnya.
Tapi aku tetap harus kesana untuk bertemu pimpinan pekerjaan. Aku bekerja di
sebuah majalah lifestyle yang lumayan
sudah punya nama di Bogor. Job desk
utamaku sebagai editor, tapi dalam kesehariannya hampir semua aku kerjakan. Mulai
meliput kegiatan, menyunting tulisan, membuat program, dan kadang aku bertransformasi
menjadi marketing sekaligus distribusi. Memang berat tapi aku menikmati
pekerjaan ini, bekerja pada media merupakan passionku.
Aku percaya dengan apa yang dikatakan Rene Suhardono bahwa setiap orang
seharusnya bekerja di tempat yang membuatnya nyaman dan berkembang sebagai
individu. Semua orang berhak merasakan bahagia, termasuk dalam bekerja. Kalau
merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang sedang dilakukan maka tinggalkan
pekerjaan itu dan carilah passion
pribadimu. Setelah pindah kesana-sini dengan bidang yang berbeda, akhirnya aku
menemukan passion pribadiku yaitu
menjadi seorang jurnalis.
Karena sedang
tidak membawa kendaraan, aku harus naik angkutan umum untuk pergi ke kantor.
Menurutku naik angkot itu menyenangkan, selain tidak harus berkonsentrasi pada
jalannya kendaraan aku bisa menikmati pemandangan yang dilewati. Yang paling
menarik adalah memperhatikan orang-orang yang berada satu angkot denganku. Di
sudut angkot ada dua ABG yang sedang asik membicarakan cowok kecengannya dan
mengagungkan Boyband korea yang bagiku tampak seperti manusia setengah
laki-laki dengan suara berisik. Sementara disebelahnya ada seorang perempuan berkerudung
yang sibuk memainkan jari diatas keypad
Blackberry tanpa memedulikan ABG berisik atau seorang laki-laki muda menarik
yang duduk didepannya, laki-laki bernama Gunung. Oh betapa manusia sudah
dijajah terlalu jauh oleh teknologi. Dibelakang kursi supir duduk seorang
perempuan sedang membaca buku berjudul Hujan Bulan Juni. Anak sok nyastra, pikirku yang selalu menganggap
diriku dan teman-teman sebagai penggemar sastra nomor wahid.
“Kiri..kiri!!”
kataku begitu menyadari angkot yang kutumpangi sudah sampai di depan komplek
perumahan tempat kantorku berada. Akupun turun dan membayar ongkos. Setelah
berjalan kurang dari sepuluh menit aku sampai diparkiran sebuah rumah berlantai
dua bercat merah menyala dengan halaman yang cukup luas, kantorku.
“Nung!”
Terdengar sebuah suara memanggilku dari café
di seberang kantor dan dari caranya memanggilku aku langsung tahu siapa
orangnya.
“Nung, sini”.
Teriaknya lagi.
Akupun
menghampirinya dengan memasang muka heran pada seseorang yang duduk di depan
orang itu.
“Apa sih sen?”.
Sendy, desainer di tempatku bekerja, teman kampus, dan drummer band Hardcore
yang dibentuknya bersamaku. Cuma dia yang memanggilku dengan sebutan nung,
bukan gun atau gunung.
“Gua mau ngenalin seseorang” Kata Sendy sambil
melirik pada wanita di depannya.
“Achi, kenalin ini Gunung. Editor Rain Magazine,
salah satu vokalis cadas bogor, dan playboy sejati”.
“Sial! Jangan didengerin babi air ini”. Kataku sambil
menyodorkan tangan.
“Hihi” Achi Cuma
tertawa kecil. Manis juga cewek ini, mukanya tirus, hidung mancung, mata coklat,
dan bandana putih menghiasi rambutnya yang seleher. Badannya tidak gemuk tapi
tidak juga terlalu kurus, kulitnya putih. Achi terlihat santai dan ngerock dengan sepatu vans biru berstrip
merah, jins, dan kaos putih bertuliskan Walls Of Jericho di depannya.
“Achi” Katanya sambil
menerima uluran tanganku.
“Gunung”.
Balasku.
“Udah jangan lama-lama,
sana lo masuk”. Kata Sendy mengusirku.
“Yuk chi kita
berangkat”
“Mau kemana?”
Tanyaku.
“Nyari
inspirasi”.
“Trus lo ngapain
manggil gua kesini bodoh?!”
“Kan tadi gua
bilang mau ngenalin seseorang.
Sekarangkan udah kenal jadi misi selesai dan lo boleh pergi”.
Sendy memang
konyol dan suka bercanda. Banyak orang yang pernah dikerjainya dan aku yakin
dia sekarang dia cuma pamer Achi di depanku, dia selalu begitu.
“Hey pergi sana,
lo ditunggu Tia dari tadi” Kata sendy lagi.
“Lo mau kemana?”
Tanyaku lagi.
“Beli Dvd. Nanti
ke kosan nggak?”
“Kayaknya sih,
tapi gua pulang dulu”
“Yaudah gua
cabut. Dadah nung…”
“Gunung pergi
dulu yah” Kata Achi sambil tersenyum.
“Oh iya chi,
hati-hati”
“Maksud gua
hati-hati sama yang lagi jalan ma lo”
“Hehe…tenang,
gua udah punya penagkalnya. Yuk ah”
“Sip”
Kemudian aku
bergegas masuk ke kantor dan mencari Tia atasanku. Ternyata dia sedang menemui
tamu dari sebuah perusahaan penerbangan Jakarta. Aku ke dapur dan minta tolong
si mamat untuk membuatkan kopi. Setelah sekitar limabelas menit menunggu,
akhirnya Tia keluar dari ruang meeting
dan menghampiriku yang sedang duduk menikmati kopi bersama sebatang sampoerna
mild.
“Dari mana aja
lo?” Tanya Tia. Kalau ada yang berpikir Tia adalah seorang cewek berkulit
putih, rambut sebahu, dan memakai kacamata maka sangat salah. Tia atasanku ini
laki-laki berkulit hitam, kurus, muka bulat, dan berjenggot. Nama lengkapnya
Taufik Setiawan, tapi dia lebih suka dipanggil Tia daripada taufik. Antara aku
dan pimpinanku ini memang tidak ada jarak, dia selalu menggunakan kata lo gua
padaku dan Sendy. Kami bertiga merupakan rekan kerja yang terlalu sering
berkumpul bersama hingga jadi teman curhat. Dan aku menyukai keadaan seperti
ini, suasana yang membuatku seperti di tengah sahabat atau keluarga.
“Maaf gua
kesiangan kang, kan abis dari Salak” Jawabku
“Oh iya gua lupa”
Kata Tia lalu mengajakku ke ruangannya di lantai dua.
“Terus gimana?“
Tanyanya lagi.
“Apanya?”
“Naik
gunungnyalah”
“Oh, seperti
biasa. Selalu menyenangkan sekaligus menantang”
“Salak itu gila.
Track diatas, tanahnya gambut dan
kanan kiri jurang. Kalau terperosok insya allah nggak selamat”.
“Kenapa nggak loncat sekalian? Kan patah hati?”
“Hahahahahaha…”
Aku tertawa keras
“Sory kang, gua
kan jagoan hehehehe jadi nggak boleh
mati”
“Ada apa nyari
gua?” Tanyaku sedetik kemudian.
“Gini gun, gua berencana mau bikin website Rain. Jadi bisa digunakan
sebagai senjata juga buat anak-anak marketing. Kontennya pasti sama dengan
majalah, ditambah sedikit link social
media sama info-info penting seputar bogor”
“Ok juga kang
tapi bukannya dulu lo nggak mau main
di online?”
“Iya. Tapi tadi
gua ketemu orang perusahaan penerbangan dan dia tertarik untuk bekerjasama
dengan kita. Syarat utama kita harus punya web.”
“Kerjasama apa?”
“Distribusi,
iklan, sama event.”
“Gitu. Trus?”
“Di web kita
nanti harus ada juga directory.”
“Directory apa?”
“Semua tempat
yang penting untuk masyarakat bogor, mulai dari hotel, resto, tempat wisata, show room, bengkel, supermarket, tambal
ban, kontrakan dan lain-lain”
“Dan lo gun,
jadi PJ ya”
“Hah? Gua
sendirian?”
“Ya maksimalkan
anak buah lo dong”
“Nggak bisa kang, kerjaan departemen gua
banyak dan SDMnya sangat terbatas. Kalau kita fokus ke directory semua siapa yang mau ngisi konten majalah?”
“Sambil lewat
nggak bisa?”
“Lo kasih waktu
berapa lama?”
“Tiga bulan”
“Nggak bisa, harus ada tim khusus buat
ini”
Tia berpikir
sejenak lalu melanjutkan bicara.
“Fokus ke yang
gede aja dulu gun, jangan langsung semua. Yang penting ada data dulu”
Sekarang
giliranku yang berpikir.
“Kalau gua pake
si Mamat sama Dede gimana? Jadi anak-anak produksi bisa back up gua buat ngisi konten. Sekalian mereka belajar juga kang”.
“Ya udah, tapi
lebih enak lo atur jadwalnya biar kerjaan mereka nggak terganggu. Trus jangan
lupa profil band indie yang mau kita angkat”
“Ok. Gua ngobrol
dulu sama mereka. Band yang mau diangkat minggu depan kesini”
“Band Rock?
Darimana?”
“Iyalah. Kan
sesuai tema Rocktober. Asli bogor”
“Mantap. Oiya
perjalanan lo kemarin ditulis aja buat trip
report”
“Kan kita majalah kang, bukan tivi”
“Trus kenapa? Emang ada aturan baku yang nggak memperbolehkan majalah punya trip report?”
“Nggak ada sih”
“Jangan terlalu
terpaku sama aturan gun. Bukannya gua ngajarin lo buat melanggar, tapi dalam
hidup ini banyak hal dan masalah yang akhirnya bisa diselesaikan tanpa
menggunakan aturan yang ada.”
“Ngutip darimana
tuh?”
“Bikin sendiri
dong, emang lo doang yang bisa bikin quote.
Minggu depan selesai ya tulisan lo”
“Baiklah bapak
pimpinan. Gua nemuin Mamat sama Dede dulu ya.”
Bersambung....