Beberapa waktu
yang lalu saat saya bekerja di sebuah majalah, saya pernah berbincang ringan
dengan beberapa rekan. Waktu itu ada Nurul sang pengurus administrasi, Diah BOD
bidang Finance, Awal Editor In Chief dan Mufti Riza si drummer handal, lloh?!.
Di hari itu kami
membicarakan banyak hal, mulai dari majalah yang akan terbit, permasalahan di
kantor, sampai tema-tema umum seputar kehidupan. Awal yang paling banyak
bicara, karena memang beliau ini paling berpengalaman diantara orang yang ada
di ruang itu. Awal kawan lama saya, di masa lalu dia adalah peniup
terompet di salah satu band beraliran SKA di Bogor. Yang saya tahu, Awal yang
dulu adalah pribadi yang menyenangkan, lucu, tetapi keras dan sering
mengedepankan emosi (maapnya kang hehe) mungkin karena pengaruh lingkungan juga.
Tetapi Awal yang sekarang adalah Awal yang bijaksana, baik, tegas, tetap
menyenangkan, tetap setia kawan dan perhatian pada anak buahnya, dengan kata
lain Awal berubah hampir 180 derajat. Apa yang bisa membuatnya berubah adalah
Istri dan anaknya Gavin, setidaknya itu menurut pendapat pribadinya. Dulu, kata
Awal, ada semacam ketakutan yang dirasakan untuk berkeluarga, takut kebebasan
yang ada sejak lama hilang karena tuntutan keluarga barunya. Tapi ternyata sama
saja, masih menurut Awal, dalam hidup, kita pasti membutuhkan kontroling,
sebelum menikah, kontrol itu datang dari orang tua, setelah menikah dan
mempunyai keluarga sendiri, kontrol itu datangnya dari istri dan anak. Jadi
bisa disimpulkan, menikah tidak menghilangkan kebebasan, malah ada hal-hal
positif yang terjadi pada diri seorang Awal setelah menikah. Salah satunya
perubahan sikap itu.
Selain hal di
atas, ada beberapa hal lain yang saya garis bawahi dari apa yang diutarakan
Awal. Yaitu, “Manusia berubah menjadi pribadi yang berbeda karena situasi”,
saya memperhatikan kalimat ini karena selama ini mind set saya tentang perubahan seorang manusia (dari kurang baik
menjadi lebih baik tentunya) adalah di saat manusia tersebut terbentur masalah,
ada juga sih yang dari kurang baik menjadi lebih berantakan. Dari pengalaman
saya dan cerita hidup orang-orang yang saya kenal, biasanya orang merubah cara
berpikir dan pola hidup mereka setelah dihadapkan pada satu masalah yang sulit
untuk di selesaikan. Secara umum pemahaman itu tidak salah, karena manusia akan
berpikir ulang tentang kapasitas dirinya disaat dia merasa lemah atau bingung.
Tapi apa yang disampaikan Awal itu lebih luas maknanya dan membuka pikiran saya
(mungkin saya terlalu bodoh karena baru menyadari hal itu), bahwa manusia bisa
berubah menjadi pribadi yang lebih baik tidak hanya disaat ditimpa kesusahan,
tapi kebaikan hati orang lain serta kebahagiaan yang dirasakanpun bisa
berpengaruh positif terhadap diri seseorang. Atau bahkan situasi yang tidak
berhubungan dengan dirinya sendiri pun bisa merubah segalanya. Ini artinya,
manusia bisa belajar dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Saya jadi
teringat dengan kata-kata ibu Damayanti Bukhori, ‘Kita tidak boleh menganggap
remeh sesuatu, bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Kita harus selalu
waspada dan memperhatikan apa yang terjadi di sekeliling kita, karena hal-hal
yang menurut kita tidak penting bisa saja merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang
menunjukan jalan terbaik untuk kita’.
Kembali ke Awal,
dia bilang manusia biasa tersiksa oleh kejahatan, tetapi ada juga disiksa oleh
kebaikan. Contoh yang awal sampaikan adalah ketika dia berkunjung ke rumah
teman yang sudah dekat denganya. Waktu itu awal makan bersama keluarga sang
teman. Beberapa menit setelah makan bersama, ibu temanya itu mengeluarkan lagi
makanan untuk cemilan, kemudian buah-buahan dan masih banyak lagi. “Gua dilema
waktu itu, di satu sisi perut gua kenyang banget,nggak bisa nambah apa-apa
lagi, tapi kalau gua nggak makan ibunya temen gw pasti marah, karena memang
sifatnya seperti itu”. Cerita ini memang sedikit berbau humor, tapi menurut
saya ada benarnya juga, kita bisa tersiksa oleh kebaikan seseorang. Walaupun
sebenarnya bisa menolak secara halus dengan berbagai alasan yang selalu datang
pada otak manusia. Kebaikan juga bisa membuat kita bingung, sedih, dan putus asa.
Bingung dan sedih karena jarang mendapat kebaikan atau bingung dan sedih karena
tidak punya cara untuk membalasnya. Akhirnya hal ini mungkin bisa membuat orang
putus asa, berlebihan mungkin tapi kadang saya merasa seperti itu.
Menurut saya,
tidak masalah putus asa selama berkorelasi dengan kebaikan dan tidak melakukan
sesuatu yang negatif tentunya. Well, mungkin cara berpikir saya ini aneh tapi minimal
anda akan suka kemudian memikirkan kalimat “Tersiksa oleh kebaikan” sama
seperti saya.
Dan yang
terpenting dari semuanya adalah kita harus bisa mengosongkan hati, hilangkan
ego saat berbicara dengan orang lain atau orang lain berbicara pada kita maka
insya allah berbagai macam ilmu akan bisa kita terima.
Sederhana tapi
sulit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar