Kamis, 26 Juli 2012

Tersiksa Kebaikan

Beberapa waktu yang lalu saat saya bekerja di sebuah majalah, saya pernah berbincang ringan dengan beberapa rekan. Waktu itu ada Nurul sang pengurus administrasi, Diah BOD bidang Finance, Awal Editor In Chief dan Mufti Riza si drummer handal, lloh?!.
Di hari itu kami membicarakan banyak hal, mulai dari majalah yang akan terbit, permasalahan di kantor, sampai tema-tema umum seputar kehidupan. Awal yang paling banyak bicara, karena memang beliau ini paling berpengalaman diantara orang yang ada di ruang itu. Awal kawan lama saya, di masa lalu dia adalah peniup terompet di salah satu band beraliran SKA di Bogor. Yang saya tahu, Awal yang dulu adalah pribadi yang menyenangkan, lucu, tetapi keras dan sering mengedepankan emosi (maapnya kang hehe) mungkin karena pengaruh lingkungan juga. Tetapi Awal yang sekarang adalah Awal yang bijaksana, baik, tegas, tetap menyenangkan, tetap setia kawan dan perhatian pada anak buahnya, dengan kata lain Awal berubah hampir 180 derajat. Apa yang bisa membuatnya berubah adalah Istri dan anaknya Gavin, setidaknya itu menurut pendapat pribadinya. Dulu, kata Awal, ada semacam ketakutan yang dirasakan untuk berkeluarga, takut kebebasan yang ada sejak lama hilang karena tuntutan keluarga barunya. Tapi ternyata sama saja, masih menurut Awal, dalam hidup, kita pasti membutuhkan kontroling, sebelum menikah, kontrol itu datang dari orang tua, setelah menikah dan mempunyai keluarga sendiri, kontrol itu datangnya dari istri dan anak. Jadi bisa disimpulkan, menikah tidak menghilangkan kebebasan, malah ada hal-hal positif yang terjadi pada diri seorang Awal setelah menikah. Salah satunya perubahan sikap itu.

Selain hal di atas, ada beberapa hal lain yang saya garis bawahi dari apa yang diutarakan Awal. Yaitu, “Manusia berubah menjadi pribadi yang berbeda karena situasi”, saya memperhatikan kalimat ini karena selama ini mind set saya tentang perubahan seorang manusia (dari kurang baik menjadi lebih baik tentunya) adalah di saat manusia tersebut terbentur masalah, ada juga sih yang dari kurang baik menjadi lebih berantakan. Dari pengalaman saya dan cerita hidup orang-orang yang saya kenal, biasanya orang merubah cara berpikir dan pola hidup mereka setelah dihadapkan pada satu masalah yang sulit untuk di selesaikan. Secara umum pemahaman itu tidak salah, karena manusia akan berpikir ulang tentang kapasitas dirinya disaat dia merasa lemah atau bingung. Tapi apa yang disampaikan Awal itu lebih luas maknanya dan membuka pikiran saya (mungkin saya terlalu bodoh karena baru menyadari hal itu), bahwa manusia bisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik tidak hanya disaat ditimpa kesusahan, tapi kebaikan hati orang lain serta kebahagiaan yang dirasakanpun bisa berpengaruh positif terhadap diri seseorang. Atau bahkan situasi yang tidak berhubungan dengan dirinya sendiri pun bisa merubah segalanya. Ini artinya, manusia bisa belajar dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Saya jadi teringat dengan kata-kata ibu Damayanti Bukhori, ‘Kita tidak boleh menganggap remeh sesuatu, bahkan hal yang paling kecil sekalipun. Kita harus selalu waspada dan memperhatikan apa yang terjadi di sekeliling kita, karena hal-hal yang menurut kita tidak penting bisa saja merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang menunjukan jalan terbaik untuk kita’.
Kembali ke Awal, dia bilang manusia biasa tersiksa oleh kejahatan, tetapi ada juga disiksa oleh kebaikan. Contoh yang awal sampaikan adalah ketika dia berkunjung ke rumah teman yang sudah dekat denganya. Waktu itu awal makan bersama keluarga sang teman. Beberapa menit setelah makan bersama, ibu temanya itu mengeluarkan lagi makanan untuk cemilan, kemudian buah-buahan dan masih banyak lagi. “Gua dilema waktu itu, di satu sisi perut gua kenyang banget,nggak bisa nambah apa-apa lagi, tapi kalau gua nggak makan ibunya temen gw pasti marah, karena memang sifatnya seperti itu”. Cerita ini memang sedikit berbau humor, tapi menurut saya ada benarnya juga, kita bisa tersiksa oleh kebaikan seseorang. Walaupun sebenarnya bisa menolak secara halus dengan berbagai alasan yang selalu datang pada otak manusia. Kebaikan juga bisa membuat kita bingung, sedih, dan putus asa. Bingung dan sedih karena jarang mendapat kebaikan atau bingung dan sedih karena tidak punya cara untuk membalasnya. Akhirnya hal ini mungkin bisa membuat orang putus asa, berlebihan mungkin tapi kadang saya merasa seperti itu.
Menurut saya, tidak masalah putus asa selama berkorelasi dengan kebaikan dan tidak melakukan sesuatu yang negatif tentunya. Well, mungkin cara berpikir saya ini aneh tapi minimal anda akan suka kemudian memikirkan kalimat “Tersiksa oleh kebaikan” sama seperti saya.
Dan yang terpenting dari semuanya adalah kita harus bisa mengosongkan hati, hilangkan ego saat berbicara dengan orang lain atau orang lain berbicara pada kita maka insya allah berbagai macam ilmu akan bisa kita terima.
Sederhana tapi sulit.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar